Selasa, 05 Oktober 2010

SEJARAH PERANG PADERI HENDAK DIREVISI

Oleh: Rizky Buana Putra Ramadhan




Majalah Tempo edisi 34/XXXVI/15-21 Oktober 2007 menurunkan laporan khusus mengenai kontroversi kebrutalan Kaum Paderi yang terjadi dalam perang di dataran tinggi Minangkabau (1803-1837). Laporan itu dipicu oleh dipublikasikannya kembali buku Mangaraja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (Yogyakarta: LKiS, 2006) (pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Tandjung Pengharapan, Djakarta, [1964]) dan satu buku lain karangan Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007).
Dalam buku itu, dan merujuk laporan Tempo di atas, diceritakan kembali kekejaman dan kebrutalan yang telah dilakukan Kaum Paderi waktu mereka melakukan invasi ke Tanah Batak. Kedua penulis, yang kebetulan berasal dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyang mereka selama serangan pasukan Paderi antara 1816-1833 di Tanah Batak yang dipimpin oleh komandan-komandan Paderi seperti Tuanku Rao, Tuanku Lelo, Tuanku Asahan, dll. Dalam kedua buku itu dikatakan pula bahwa Kaum Paderi mengembangkan gerakan Wahabi di Sumatera setelah tiga pendirinya, Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang terpengaruh oleh gerakan itu sewaktu mereka berada di Tanah Arab dan kembali ke Minangkabau tahun 1803.
Tetapi yang lebih menarik dalam laporan Tempo itu adalah munculnya petisi agar gelar pahlawan nasional yang diberikan kepada pemimpin Paderi, Tuanku Imam Bonjol, dicabut. Petisi itu digerakkan oleh seorang pemuda asal Samosir, Mudy Situmorang. Menurutnya, Tuanku Imam Bonjol tidak pantas diberi gelar pahlawan pejuang kemerdekaan, karena Gerakan Paderi yang dipimpin ulama itu, yang dianggapnya sama dengan Al-Qaeda sekarang, telah menewaskan jutaan orang di Tanah Batak. Mudi sedang mengumpulkan tanda tangan, jika sudah sampai 500, akan diserahkan kepada pemerintah.
Data sejarah memang menunjukkan bahwa beberapa panglima Paderi bermental beringas dan sangat ditakuti. Data pribumi sendiri, yaitu Surat Keterangan Syekh Jalaluddin (SKSJ) karangan Fakih Saghir, salah seorang ulama Paderi dari golongan moderat, menceritakan dengan cukup detil keberingasan Tuanku Nan Renceh, pemimpin Paderi yang paling radikal dan ditakuti (Lihat transliterasi SKSJ oleh E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir: Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002, yang disunting berdasarkan dua salinan naskahnya yang tersisa di dunia dan kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, yaitu L.Or.1743 dan L.Or.6138). Sejarah juga mencatat bahwa jalan radikal yang dipilih Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya telah menimbulkan friksi di tubuh Kaum Paderi. Golongan moderat yang dipimpin oleh Tuanku Nan Tuo dan Fakih Saghir akhirnya memisahkan diri dari kelompok Tuanku Nan Renceh.
Tapi, lepas dari kontroversi di atas, petisi yang hendak mencabut gelar pahlwan nasional yang disandang Tuanku Imam Bonjol adalah isu yang menarik. Ini dapat menimbulkan siginifikansi teoretis terhadap konsep historiografi Indonesia yang telah diketahui umum dan diakui (diamini) selama ini oleh dunia akademik. Memang belum lama ini ada kritik dari sejarawan Bambang Purwanto agar meninjau kembali historiografi Indonesia (lihat bukunya: Gagalnya Historiografi Indonesiasentris? Jogjakarta: Ombak, 2006). Bisa-bisa kritik Mudy Situmorang terhadap Tuanku Imam Bonjol ini akan menjadi preseden untuk mengkritisi gelar pahlawan nasional yang sudah dianugerahkan kepada para pemimpin lokal lainnya dari berbagai daerah yang di masa lalu sempat berkonfrontasi dengan Belanda, seperti Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Pattimura, dll. Persoalannya adalah bahwa pada masa mereka hidup konsep keindonesiaan itu memang belum ada. Mereka memimpin peperangan dalam rangka ekspansi teritorial kerajaan tradisional mereka. Tidak jarang pula tujuan itu diwujudkan dengan menyerang dan menghabisi penduduk kerajaan-kerajaan tetangganya (misalnya apa yang sering dilakukan Gowa dan Ternate terhadap Buton dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di wilayah Indonesia Timur pada abad ke-17 dan 18). Bahwa kemudian mereka berhadapan dengan Belanda itu adalah karena sebagai penguasa lokal mereka merasa terancam dari segi politik, ekonomi, maupun hegemoni, oleh kedatangan orang-orang putih tinggi yang panjang akal dari Eropa itu, selain bahwa memang penguasa-penguasa kerajaan kecil yang ditindas oleh tangganya yang lebih kuat itu minta pertolongan kepada Belanda. Rivalitas yang semula tertuju kepada kerajaan-kerajaan tetangga kemudian diarahkan kepada Belanda, musuh dari luar.
Demikianalah umpamanya, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa Gerakan Paderi adalah perjuangan untuk keindonesiaan jika dalam pasukan kavaleri Belanda yang pengepung Bonjol sejak tahun 1836 terdapat ratusan orang Ambon dan Jawa dan malah beberapa orang di antaranya menduduki jabatan yang cukup tinggi (komandan pasukan, misalnya), seperti dapat dibaca dalam laporan rinci empat sumber pertama (bronnen) yang merekam pergerakan pasukan Belanda mengepung Kaum Paderi di Bonjol selama bulan-bulan terakhir sebelum benteng terakhir Kaum Paderi itu jatuh ke tangan Belanda pada pertengahan Agustus 1837 dalam buku G. Teitler: Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber] (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004).
Oleh karena itulah di kalangan sejarawan muncul perbedaan pendapat apakah Indonesia itu memang dijajah Belanda selama 350 tahun atau hanya 150 tahun?
Setiap peristiwa sejarah bangsa ini di masa lalu terus menerus akan dikaji ulang. Tetapi istilah “pelurusan sejarah” yang sering dipakai sekarang ini seolah mengandaikan bahwa sejarah yang akan (atau telah) ditulis ulang itu telah benar-benar mempresentasikan (bukan merepresentasikan) kejadian yang sebenarnya telah terjadi di masa lalu itu. Kenapa kita menggunakan istilah yang terkesan sombong begitu? Pakai saja istilah kajian baru mengenai sejarah Perang Paderi, misalnya.
Dalam soal buku Parlindungan dan Basyral adalah sulitnya bagi pembaca kritis untuk membuang persepsi bahwa perasaan etnisitas – dengan demikian subyekif sifatnya – telah ikut mempengaruhi tampilan narasi kedua buku itu, walaupun mungkin penulisnya sudah berusaha menulis seobjektif mungkin (ini mungkin terkait juga dengan sifat Bahasa Indonesia yang jelas tidak mungkin didiskusikan lebih dalam di sini). Kecurigaan ini sebenarnya telah dikemukakan oleh Hamka dalam kritiknya terhadap buku Parlindungan (Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” […]. Jakarta: Bulan Bintang, 1974). Ini biasa terjadi dalam penulisan historiografi lokal di Indonesia dimana kebanyakan penulisnya berasal dari daerahnya masing-masing. Perasaan mengagungkan daerah sendiri sering muncul agak transparan dalam kajian-kajian ‘ilmiah’ sejarah kita. Bukan kesahihan sumber kepustakaannya yang diragukan, tetapi kemungkinan munculnya bias regionalisme dan subjektifisme etnisitas dalam membaca dan menginterpretasikan sumber-sumber kepustakaan itu. Apa yang menimbulkan ‘energi’ ini? Antara lain karena mitos yang dibuat oleh kekuasaan tentang negara-bangsa (nation-state) yang berhasil memerdekakan diri dari penjajah Belanda (Barat) yang telah menyengsarakan nenek moyang kita berabad-abad lamanya. Saya pernah dimintai pendapat oleh seorang keturunan raja sebuah kerajaan lokal Nusantara dalam rangka pengusulan ayahnya menjadi pahlawan nasional. Tapi saya sedikit sungkan untuk memberi pendapat bahwa sebenarnya ayahnya pernah terlibat korupsi semasa berkuasa.
Selain ‘kelemahan’ di atas, banyak sumber lokal (indigenous sources) yang belum digali dan dimanfaatkan secara maksimal dalam penulisan historiografi lokal Indonesia, misalnya surat-surat resmi dan buku harian kerajaan (seperti Bo’ di Bima). Persoalannya, tak banyak sejarawan kita yang pandai membaca huruf Jawi gundul. Juga karena tradisi studi sejarah kita yang cenderung memandang positif sumber-sumber Barat dan sedikit melihat sepele sumber-sumber pribumi sendiri.
Yang jelas kritik terhadap Tuanku Imam Bonjol bukan baru kali ini terjadi. Beberapa tahun lalu, lewat genre drama, budayawan Wisran Hadi juga sedikit ‘mencemeehkan’ kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Pemda Sumbar yang waktu itu di bawah kemudi Hasan Basri Durin dibuat kebakaran jenggot. Wisran dituduh telah menghina seorang pahlawan nasional.
Apakah kritik terhadap Tuanku Imam Bonjol ini memang memperkruat indikasi “gagalnya historiografi Indonesiansentris?” – meminjam kata-kata Bambang Purwanto. Wallahualam! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar